Ibuku
Beliau seperti kebanyakan ibu ibu yang ada, low profile dan bersahaja.
Namun dibalik itu semua, beliau lebih hebat dari wonder women.
Bayangkan saja, ketika usia kami masih belasan, bahkan adikku yang paling bungsu masih balita. Ayahku dipanggil sang khalik. Tinggalah ibuku seorang diri, membesarkan, mendidik dan membiayai sekolah kami.
Kami lima bersaudara, berkat perjuangan beliau, 3 anaknya menjadi sarjana. Saya dan adikku yang perempuan hanya sampai SMA. Saya tidak melanjutkan kuliah bukan karena ibuku, tapi memang karena kenakalanku saja.
Bayangkan, tanpa warisan yang melimpah dari almarhum ayahku, tanpa pendidikan yang tinggi yang beliau miliki, kami bisa sekolah.
Ibu begitu mencintai anak-anaknya tanpa pilih kasih, dan kami merasakan sekali cintanya yang begitu hangat. Beliau akan memberikan perhatian lebih kepada anaknya, kalau memang saat itu kondisi kami yang harus lebih banyak butuh perhatianya. Jadi benar benar tanpa pilih kasih.
Beliau mendidik kami dengan sederhana, namun apa yang beliau berikan buat kami begitu mendalam.
Contoh yang sederhana saja, beliau tidak pernah menjelek jelekan orang lain atau teman sebaya kami, bahkan kalau ada teman kami yang berprestasi beliau selalu menyuruh kami untuk mencontohnya.
Memang sederhana, namun dihati kami hal hal seperti itu cukup menjadi suri tauladan.
Ayahku meninggal pada saat aku duduk di kelas 2 SMP, aku anak pertama.
Walaupun kami "sebentar" saja bertemu beliau, namun banyak yang dapat kami kenang, karena kualitas kasih sayang yang beliau berikan buat kami amat sangat terasa.
Hal yang paling saya ingat, beliau selalu menyuruh kami, sebagai anak sekolah, adalah belajar, karena kewajiban anak sekolah adalah belajar, dan jika kita sudah belajar dengan baik terus nilai kita jelek, mungkin itu bukan salah kita, mungkin memang kemampuan otak kita yang terbatas. Tapi jika nilai kita baik, itu memang hasil jerih payah kita. Sederhana tapi amat bijak.
Semoga, kami, anak anaknya dapat mencontoh suri taulanya.
Namun dibalik itu semua, beliau lebih hebat dari wonder women.
Bayangkan saja, ketika usia kami masih belasan, bahkan adikku yang paling bungsu masih balita. Ayahku dipanggil sang khalik. Tinggalah ibuku seorang diri, membesarkan, mendidik dan membiayai sekolah kami.
Kami lima bersaudara, berkat perjuangan beliau, 3 anaknya menjadi sarjana. Saya dan adikku yang perempuan hanya sampai SMA. Saya tidak melanjutkan kuliah bukan karena ibuku, tapi memang karena kenakalanku saja.
Bayangkan, tanpa warisan yang melimpah dari almarhum ayahku, tanpa pendidikan yang tinggi yang beliau miliki, kami bisa sekolah.
Ibu begitu mencintai anak-anaknya tanpa pilih kasih, dan kami merasakan sekali cintanya yang begitu hangat. Beliau akan memberikan perhatian lebih kepada anaknya, kalau memang saat itu kondisi kami yang harus lebih banyak butuh perhatianya. Jadi benar benar tanpa pilih kasih.
Beliau mendidik kami dengan sederhana, namun apa yang beliau berikan buat kami begitu mendalam.
Contoh yang sederhana saja, beliau tidak pernah menjelek jelekan orang lain atau teman sebaya kami, bahkan kalau ada teman kami yang berprestasi beliau selalu menyuruh kami untuk mencontohnya.
Memang sederhana, namun dihati kami hal hal seperti itu cukup menjadi suri tauladan.
Ayahku meninggal pada saat aku duduk di kelas 2 SMP, aku anak pertama.
Walaupun kami "sebentar" saja bertemu beliau, namun banyak yang dapat kami kenang, karena kualitas kasih sayang yang beliau berikan buat kami amat sangat terasa.
Hal yang paling saya ingat, beliau selalu menyuruh kami, sebagai anak sekolah, adalah belajar, karena kewajiban anak sekolah adalah belajar, dan jika kita sudah belajar dengan baik terus nilai kita jelek, mungkin itu bukan salah kita, mungkin memang kemampuan otak kita yang terbatas. Tapi jika nilai kita baik, itu memang hasil jerih payah kita. Sederhana tapi amat bijak.
Semoga, kami, anak anaknya dapat mencontoh suri taulanya.
